Kamis, 30 Mei 2013

Kelompok Gangster Berubah Menjadi Pesamuan Kolam Teratai 06




Kisah Bodhisattva Sukacita (Bagian 1)

Penderitaan ekstrim menjadi kebahagiaan sejati
Melampaui penderitaan, datanglah sukacita.


Sebelumnya kami pernah memperkenalkan tentang “Kisah Nyata dari Bodhisattva Sukacita”, banyak orang yang beranggapan mungkin karena beliau memiliki anak yang berbakti, keluarga yang harmonis, ekonomi yang memadai, makanya setiap hari dia bersukacita. Andaikata dia bertemu kejadian yang tak menyenangkan, mana mungkin bisa bersukacita lagi!”  Namun kenyataannya sungguh ironis, dia pernah menjalani babak kehidupan dalam penderitaan yang ekstrim, namun dia dapat membangkitkan ketulusan melafal Amituofo. Pengalaman hidupnya ini sungguh merupakan contoh teladan sebagai bagian dari teratai mustika yang cacat.


Melampaui ketidakberdayaan dan rasa malu.
Namun dengan “Amituofo”, melompat keluar dari negeri sengsara.

Belasan tahun yang lalu saya telah mengenal dirinya, saat itu dia sedang mendampingi putrinya di kamar pasien, kala itu wajahnya dipenuhi awan kerisauan, memikirkan putrinya yang baru berusia 15 tahun telah menderita kanker. Dia berangkat dari dusun bagian selatan, menempuh perjalanan hingga sampai ke rumah sakit di Taichung, dia harus menahan mabuk selama perjalanan yang jauh, wajahnya yang pucat dan kelelahan.  Dia memberitahu padaku : “Saya mengayuh sepeda untuk membonceng putriku yang sedang menderita penyakit parah, sepanjang perjalanan melewati ladang-ladang dusun, saya tidak tahu harus ke mana memohon pengobatan, seluruh ragaku terasa tak berdaya.... sepasang matanya tampak menahan ketidakberdayaan kehidupan dan airmata seorang bunda.

Suatu hari ketika dia pergi ke toilet, kebetulan di kasur sebelah ada seorang Oma yang kesulitan membalikkan badannya, putrinya melihat hal ini, namun dia sendiri juga sedang diinfus sehingga tak leluasa bergerak, maka dia berteriak memanggil : “Mama!”. Bodhisattva Sukacita yang sedang berada di dalam toilet terkejut mendengar panggilan anaknya, dia mengira telah terjadi sesuatu pada putri kesayangannya, sehingga segera menerobos keluar, dan sangat panik sampai kedua kakinya menjadi lemas. Begitu keluar dari pintu toilet, kakinya terasa lemas, sehingga jatuh berlutut di atas lantai, akibatnya kedua lututnya mengalami cedera.

Putrinya mengidap kanker nasofaring (hidung dan tekak), dan ketika pertama kali diperiksa, sel kanker telah menyebar sampai ke saraf tulang belakang dan bagian otak, serta  kelenjar limpa yang ada di bagian leher. Pada saat itu ekonomi keluarganya sedang menghadapi masalah, tanaman semangka gagal panen, seluruh ladangnya tidak tampak satupun buah yang muncul keluar dan yang mengherankan hewan ternaknya juga mati satu persatu sampai tak tersisa.

Untuk menutupi biaya pengobatan putrinya, dia harus menjual ladangnya, bila tidak maka kondisi ekonomi keluarga akan menjadi lebih parah lagi. Menghadapi cobaan ini, bila orang lain pasti sudah mengeluh, namun dia tetap tegar menjalaninya. Saya selalu mendapatinya sedang diam-diam menangis seorang diri, namun ketika bertatap muka dengan putrinya, dia segera tersenyum dan menghibur putri kesayangannya.

Waktu itu dokter yang menangani putrinya mengusulkan sebuah terapi di mana memerlukan infus selama 7 hari 7 malam, bayangkan saja orang dewasa yang menjalani terapi ini muntah sampai tersiksa, apalagi seorang anak belia!


Melafal Amituofo selama 7 hari 7 malam

Pada saat inilah saya menceritakan sebuah kisah kepada mereka, menasehati mereka agar dengan tenang melafal Amituofo. Mungkin karena akar kebajikan mereka tebal sehingga langsung timbul keyakinan, anak dan ibu langsung mengamalkan melafal Amituofo. Bodhisattva Sukacita menfokuskan segenap hati dan pikirannya ke dalam nama “Amituofo”, sambil menjaga dan mendampingi anaknya melafal Amituofo. Kasih sayangnya pada sang putri menyebabkan dia melupakan kelelahan dan dirinya sendiri, sampai tidak tidur, 7 hari 7 malam berada disamping ranjang pasien melafal Amituofo, kita saja yang mengikuti “kegiatan pelafalan Amituofo selama 7 hari”, tidak seserius seperti dirinya. Kemudian dia berkata padaku : “Detik itu, apapun sudah tak terpikir lagi, yang ada hanya sepatah “Amituofo”.


Suaminya adalah seorang buruh bangunan, setiap hari ketika pulang kerja, dia akan berangkat dengan kereta api dari dusunnya di selatan, kemudian harus menaiki mobil penumpang lagi, baru sampai di Taichung untuk membantu merawat putrinya.  Setiap malam tidur di sebuah bangku panjang dan keesokkan harinya ketika hari masih gelap dia sudah harus meninggalkan rumah sakit menuju tempat kerjanya, demikianlah setiap harinya. Pernah suatu hari karena kelelahan dia tertidur di dalam kereta api, sehingga tidak tahu kalau kereta tumpangannya telah melewati terminal yang hendak ditujunya, sehingga dia harus menumpang kereta lain untuk balik kembali.

Saat itu saya selalu mendapat giliran bertugas di malam hari, setiap melewati kamar pasien putri kecil itu, selalu tersentuh oleh sepasang mata bunda yang welas asih. Bayangan sang ayah yang hadir setiap malam dan pergi sebelum mentari terbit, sungguh patut diberi penghormatan.


Dikutip dari Ceramah Master Dao-zheng :
Kelompok Gangster Berubah Menjadi Pesamuan Kolam Teratai