Kamis, 31 Oktober 2013

Menebar Senyum 05


Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Kisah Chen Jin-chi
Bagian 5

Setelah melewati berbagai cobaan, akhirnya dia kembali ke tekadnya semula, niatnya yang paling berharga adalah dapat mengalihkan penderitaannya menjadi niat untuk membantu makhluk lainnya. Dia memberitahukan diriku bahwa dia memiliki sebidang tanah, dimana dia ingin mendirikan tempat peristirahatan bagi para pasien sambil melafal dan bernamaskara pada Buddha Amitabha, membantu mereka yang menderita. Saya merasa bahwa kala seseorang berada di ranjang pesakitan namun bisa mengikrarkan tekad sedemikian, sungguh bukanlah hal yang mudah. “Satu niat baik dapat melenyapkan ribuan malapetaka, tekad besar menguraikan ribuan kecemasan”. Dengan kekuatan niat baiknya itu telah mengalihkan penderitaannya ke arah yang lebih baik, ketika tekad agung diikrarkan maka lepaslah segala penderitaan.


Sesungguhnya saya tidak terlalu memahami tentang pendirian bangunan, namun saya memberinya ucapan selamat, tidak mudah bagi seseorang yang sedang berada di ranjang pesakitan dimana otaknya telah mengalami tekanan dan sulit mengeluarkan suara, namun masih memiliki niat demikian. Tak peduli bagaimana jalinan jodoh berakhirnya kehidupan ini, namun yang penting telah membangkitkan sebersit niat baik untuk memberi manfaat bagi makhluk lain, yang juga berarti telah memupuk bunga dan buah kebijaksanaan Buddha dan Bodhisattva.


Pada mulanya saya tidak mengira dia begitu serius, tidak disangka dia menggunakan tangannya yang telah kaku itu untuk menggambar sebuah denah bangunan, di atas denah ditulis “Namo Amitabha Buddhaya” yang menunjukkan bahwa bangunan itu adalah vihara. Setelah dia wafat, seorang sanak keluarganya bermimpi melihat dirinya berada di sebuah bangunan yang indah dan megah, mungkin ini adalah mujizat dari keinginannya untuk mendanakan sebuah bangunan bagi para pasien untuk melafal Amituofo!


Karena itu janganlah kikir untuk membangkitkan sebersit niat baik, juga jangan pelit untuk mengucapkan sepatah kata baik. Kita harus senantiasa membangkitkan pikiran baik, mengucapkan kata baik, di dalam kondisi yang tidak menyenangkan segera mengembalikan pikiran ke jalan yang benar, mengarah kepada Buddha dan cahayaNya. Walaupun dia berada di ranjang pesakitan, namun niatnya yang kuat untuk membantu insan lain melafal Amituofo, bunga teratai di Alam Sukhavati bermekaran, istana tujuh mustika yang seharusnya juga menjadi miliknya seketika terwujud. Segala kondisi tercipta dari pikiran! Pikiran dapat menciptakan Alam Sukhavati, hati dapat menikmati kebahagiaan.


Pertama kali ketika kami bersua, telah ada seorang Bodhisattva yang bernama Nyonya Wang, setelah mengetahui kondisi penyakit yang dideritanya maka segera memberinya Sutra Bhaisajyaguru dan memotivasinya untuk membaca, karena selama ini Upasaka Chen sehat-sehat saja, mendadak divonis dokter dan dia tidak dapat menerima kenyataan ini. Seperti juga para pasien lain yang pada umumnya setelah mendengar vonis dokter, tangan dan kaki akan gemetaran, dia berharap keajaiban dapat muncul dan sembuh dari penyakitnya, tidak berharap kehidupan ini berakhir, tidak ingin berpisah dengan keluarganya. Maka itu sebagus apapun Alam Sukhavati, dia juga tidak sudi ke sana, inilah kondisi manusia pada umumnya.


Ketika tubuhnya masih sehat, dia tidak ingin memilikirkan masalah bahwa “suatu hari nanti kehidupan ini pasti berakhir”, juga tidak berminat untuk menerima maitri karuna Buddha Amitabha. Sikap ini dapat kita maklumi, sebagian besar orang juga sedemikian. Dalam keadaan serupa ini jika begitu bertatap muka langsung minta dia melepaskan kemelekatan dan bertekad lahir ke Alam Sukhavati, mungkin saja kehendaknya adalah memohon penyembuhan, maka itu dia akan menentang maksud baik kita, sehingga merusak jodohnya dengan Buddha. Maka itu saya menuruti keinginannya, memberikan perhatian agar emosi pasien selalu stabil, menjaganya agar jangan ada rasa takut atau perasaan diabaikan, sendirian menuju jalan kematian yang ditakutkan setiap insan, saya senantiasa menasehati pasien : “Jangan cemas, sesulit apapun jalan yang akan ditempuh, kami akan menemanimu melangkah ke sana, Buddha Amitabha akan menuntun kita, melewati perjalanan ini dengan selamat”. Bahkan juga menekankan bahwa Buddha Amitabha adalah Cahaya Sukacita, Cahaya Kebijaksanaan, Cahaya Maitri Karuna,……………..Buddha Amitabha adalah cahaya tanpa batas dan usia tanpa batas, jika melafal sampai terjalin denganNya maka akan melenyapkan malapetaka dan memperpanjang usia.


Atau mungkin saja jalinan jodoh masing-masing tidak sama, masing-masing memiliki jembatan penyeberang dan perahu penyelamat yang berbeda-beda, walaupun Buddha Amitabha juga dapat melenyapkan malapetaka dan memperpanjang usia, namun mulanya Upasaka Chen lebih suka pada Buddha Bhaisajyaguru (yang juga merupakan Buddha yang melenyapkan malapetaka dan memperpanjang usia). Setiap pasien suka pada melenyapkan malapetaka dan memperpanjang usia, jarang sekali ada pasien yang begitu jatuh sakit langsung menyadari ketidakkekalan, dan langsung mempersiapkan urusan menjelang ajal yang harus dilalui oleh setiap manusia, maka itu harus menuruti keinginan insan lain, membimbing mengikuti jodoh.


Di dalam Sutra Bhaisajyaguru tercantum sebuah kalimat yang amat bermakna, dimana tertera bahwa Buddha Bhaisajyaguru sendiri juga membantu para makhluk untuk terlahir ke Alam Sukhavati, apabila makhluk tersebut sebelumnya telah membangkitkan tekad untuk terlahir di Alam Sukhavati, namun mereka masih belum memiliki keyakinan penuh, yang belum mencapai tahap “pikiran terfokus tak tergoyahkan”, jika dapat mengamalkan “Atthanga Sila“ selama tiga bulan, dan lagi dapat mendengar nama Buddha “Bhaisajyaguru Vaidurya Prabhasa Tathagata”, saat menjelang ajal, Buddha Bhaisajyaguru akan bersama dengan delapan Bodhisattvaya Mahasattvaya muncul dan menuntun jalan sehingga makhluk tersebut sesuai dengan niatnya dapat terlahir ke Alam Sukhavati.


Dari kalimat sutra tersebut dapat kita ketahui bahwa walaupun Buddha Bhaisajyaguru adalah pengajar utama di Alam “Vaidūryanirbhāsā“ yang terletak di penjuru timur, namun karena Hati Buddha amat lapang dan luas, takkan membedakan satu sama lain, namun menyesuaikan dengan kekuatan tekad dan jalinan jodoh para makhluk serta menwujudkan bimbingan yang paling unggul. Setiap Buddha merupakan kepala sekolah penyelamat besar yang bermaitri karuna, mereka amat bersukacita saling memperkenalkan siswa-siswanya untuk saling belajar, takkan ada pembagian partai, saling berebutan. Kondisi dan jalinan jodoh yang bagaimana yang dapat membantu makhluk tersebut, sehingga dia akan memperoleh manfaat dan keberhasilan terbesar, maka dengan dengan demikianlah Buddha akan menuntunnya.


Maka itu bukan hanya dengan melafal Amituofo barulah dapat terlahir ke Alam Sukhavati, namun sesuai dengan keinginan juga dapat terkabulkan, dengan melafal Sutra Bhaisajyaguru atau nama Buddha Bhaisajyaguru lalu melimpahkan jasa kebajikan ke Alam Sukhavati, niatnya juga dapat terwujud. Bahkan walaupun melafal sutra Mahayana lainnya, asalkan jasa kebajikannya dilimpahkan  ke Alam Sukhavati, keinginannya untuk terlahir ke Alam Sukhavati juga dapat terkabul, ini ibaratnya berasal dari SMA berlainan mengikuti ujian masuk ke perguruan tinggi yang sama, asalkan keyakinan dan tekadnya memperoleh nilai sepuluh, maka akan diterima, terlahir ke Alam Sukhavati adalah hal yang nyata dan benar, setiap insan dapat memilikinya, jadi tidak perlu ragu dan khawatir.


Maka itu Upasaka Chen suka membaca Sutra Bhaisajyaguru, Sutra Ksitigarbha, karena itu saya tidak memaksakan dia agar harus membaca Amitabha Sutra atau sutra Aliran Sukhavati lainnya, hanya menganjurkan agar jasa kebajikan dari membaca sutra dilimpahkan dengan bertekad lahir ke Alam Sukhavati, Buddha Bhaisajyaguru juga akan membantu kita terlahir ke Alam Sukhavati!                   



Dikutip dari : Ceramah Master Dao Zheng
Judul :  Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika


Rabu, 30 Oktober 2013

Menebar Senyum 04



Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Kisah Chen Jin-chi
Bagian 4


Nyonya Chen memiliki sepatah kata yang bagus, yang dapat memotivasi pasien yang telah putus asa; dia berkata : “Oleh karena saya terlalu mencintai suamiku, tidak tega melihatnya menderita, maka itu saya menyerahkan hatiku yang mencintainya ini kepada Buddha Amitabha, agar dia jangan menderita lagi, mencapai KeBuddhaan dan menyelamatkan semua makhluk”. Betapa baiknya niat hatinya ini, betapa patut dirinya itu dipuji karena telah mengubah cinta individunya menjadi maha karuna Buddha; dari cinta individu maupun jalinan kasih antar keluarga, ditingkatkan menjadi jalinan keluarga Bodhi yang melangkah di Jalan KeBuddhaan.


Dia merupakan istri yang berbudi luhur, mendampingi suaminya melewati jalanan berliku-liku, sampai pada saat menjelang ajal dan membantunya melafal Amituofo, walaupun lelah sekalipun dia juga tidak berani beristirahat, tubuhnya kurus sampai hanya tersisa 30 kg lebih. Wanita kurus dan lemah ini telah menwujudkan semangat Bodhisattva, mengantar suaminya mengakhiri penderitaan dan memperoleh kebahagiaan buat selama-lamanya, dengan senyum dan lambaian tangan pergi ke Alam Sukhavati, menanti kedatangan sang istri, keluarga dan seluruh makhluk di Alam Sukhavati. 


Dan akhir yang menyenangkan dari kisah ini, diantaranya tidaklah semulus yang kita bayangkan, namun juga penuh dengan liku-liku. Karena hati orang awam tidaklah kekal, ketika “kekuatan kesabaran” belum sempurna, terkadang juga akan mengalami kemunduran. Ketika pasien karena penderitaan sakitnya dan keyakinannya jadi goyah, tidak dapat meneruskan melafal Amituofo lagi, maka peranan orang-orang di sekitarnya amat penting, haruslah dengan maitri karuna dan kelembutan untuk mengerti akan penderitaannya, agar pasien tahu bahwa mereka merasakan apa yang dideritanya, kemudian baru memotivasinya agar membangkitkan kembali keyakinannya; jangan malah sebaliknya menyalahkan diri si pasien dan merasa kecewa pada dirinya, serta mengabaikannya.


Orang-orang yang berada di sekelilingnya, harus membandingkan dirinya dengan si pasien, andaikata saya juga berada dalam kondisi yang sama dengannya, saya akan bagaimana? Apakah keyakinanku juga takkan berubah, kemudian senantiasa tersenyum? Andaikata kita saja tidak bisa, maka ketika keyakinan pasien goyah, kita harus memakluminya, ini merupakan kesempatan bagi kita untuk memupuk berkah dan kebijaksanaan. 
 

Nyonya Chen begitu telaten menwujudkan hal ini, dia menggunakan hatinya untuk memaklumi bahkan juga mewakili suaminya untuk melakukan pertobatan. Kekuatan dari ketulusan sungguh tak terbayangkan, bertobat dan memohon perlindungan dari Buddha juga merupakan kekuatan yang tak terbayangkan. Ketika kita diperlakukan dengan tidak adil dan tidak menyenangkan, janganlah bersedih, gunakanlah ketulusan hati untuk bertobat, memohon bimbingan dari Buddha, ketahuilah kita tidak kurang sesuatu apapun dari Buddha, kita hanya kelebihan sedikit benda kotor yakni “lobha, dosa, moha, keangkuhan dan kecurigaan”. Bila kita sudi membersihkannya maka Jiwa KeBuddhaan yang cemerlang akan muncul keluar.


Pada tahun 85 musim dingin, karena sel kankernya telah menyerang ke bagian otak sehingga dia sulit bersuara, lengan tangannya mati rasa. Selama ini dia begitu sehat, tiba-tiba divonis kanker, membuatnya amat menderita dan risau, karena emosinya labil maka sulit untuk menfokuskan diri melafal Amituofo. Dalam hatinya menyalahkan Buddha dan Bodhisattva yang tidak membuat pengaturan yang baik buat dirinya, begitu emosi tasbih pun langsung dilepaskannya.


Sedangkan Buddha dan Bodhisattva begitu bermaitri karuna, selalu tidak tega melihat penderitaan para makhluk, terhadap para makhluk senantiasa memiliki hati bagaikan ayahbunda yang merisaukan anak-anaknya, walaupun penderitaan para makhluk yang dikarenakan perbuatannya di masa kelahiran lampau; namun masih menyalahkan Buddha dan Bodhisattva, tetapi Buddha dan Bodhisattva masih tetap ingin mewakili para makhluk menerima penderitaan mereka, menanti sampai saat yang tepat untuk mempengaruhinya.


Kebetulan sekali ketika Upasaka Chen sudah tidak mampu mempertahankan keyakinannya yang telah goyah, mungkin juga ini adalah wujud dari doa mereka setiap hari kepada Buddha dan Bodhisattva, saya bermimpi melihat Upasaka Chen menangis kesakitan. Maka itu saya segera menelepon ke rumahnya dan putranya menjawab bahwa ayahnya sedang diantar ke Unit Gawat Darurat di rumah sakit, Nyonya Chen menyampaikan salam saya kepadanya di UGD dan dia menangis seperti seorang anak-anak. Saya mengunjunginya, dia berkata padaku dengan gaya yang agak lucu : “Saya sudah bilang ke Buddha dan Bodhisattva, saya sudah menyerah, tidak ingin melafal Amituofo lagi, akhirnya setelah Buddha dan Bodhisattva tahu akan hal ini, anda juga diberitahu Mereka. Sekarang jalinan komunikasi antara diriku dengan Buddha lancar kembali, saya akan melafal Amituofo lagi, walaupun saya tidak dapat melafal dengan bersuara, namun aku akan melafalnya di dalam hati”.


   Mendengar ucapannya serta perjuangan berat keluarganya, saya sungguh merasa sedih dan perih, hanya dapat berkata padanya : “Jalan ini sungguh sulit, untunglah ada Buddha Amitabha ikut serta”. Setelah itu dia menangis dan saya juga turut menangis. Kita adalah manusia yang memiliki darah dan airmata, Buddha akan memaafkan kita, hapuslah airmata dan melangkah lagi ke depan, kita semua saling membantu dengan penuh sukacita pulang ke kampung halaman Alam Sukhavati. Menangis sejenak, beban di hati pupus sudah, saya mencoba berbincang dengannya : “Saat menderita kita juga harus memikirkan pada masa lampau kita juga membuat makhluk lain menderita, kini saya telah merasakannya sendiri, maka itu dengan tulus kita meminta maaf pada mereka, bertobat, melafal Amituofo dan melimpahkan jasa kebajikan ini agar mereka memperoleh kedamaian”. Dia menganggukkan kepalanya dan mengiyakan.


Segala penderitaan dan kegelapan pasti akan berlalu, seperti khayalan dan bayangan, asalkan kita bertekad ke arah yang gemilang, bertobat dengan setulusnya. “Semua karma buruk yang dilakukan di masa kelahiran lampau, yang berasal dari lobha, dosa dan moha yang tanpa awal, yang diperbuat melalui tubuh, ucapan dan pikiran, kini saya bertobat atas semua ini”. Karma buruk yang kita lakukan di masa lampau, karena di hati kita ada ketamakan, amarah dan kebodohan, dan lobha, dosa, moha ini menggerakan kita untuk berbuat melalui pikiran, ucapan dan tindakan, yang melukai makhluk lain, sehingga makhluk lain menjadi menderita. Dan kini penderitaan itu kembali pada diri kita sendiri, kita harus segera bertobat. Andaikata anda atau keluarga anda memiliki keyakinan yang tidak kokoh, janganlah berkecil hati, pikirkanlah bagaimana Upasaka Chen juga sedemikian menjalaninya. Ketika kita berniat kembali melafal Amituofo, Buddha juga akan bermaitri karuna mengulurkan tanganNya, lihat saja Upasaka Chen ini, dia masih dapat tersenyum bergandengan tangan dengan Buddha pulang ke Alam Sukhavati. 
         

Dikutip dari : Ceramah Master Dao Zheng
Judul :  Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika


Selasa, 29 Oktober 2013

Menebar Senyum 03


Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Kisah Chen Jin-chi
Bagian 3

Saya telah pernah memeriksa banyak pasien, walaupun setiap insan berharap dapat terlahir ke Alam Sukhavati, namun ketika diserang penyakit, tetap saja tidak dapat menghindari perasaan takut. Ketika jatuh sakit, tubuh melemah, ketika penyakit bertambah parah, tentu tak luput dari kesulitan untuk bersabar menahan penderitaan, ini merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan oleh orang awam yang masih memiliki kemelekatan pada tubuh jasmani; mungkin saja ketika anda dan saya bertemu dengan kondisi ini, juga akan sedemikian, kemelekatan pada jalinan kasih sayang.


Terkadang pihak keluarga bersikap tergesa-gesa akan kesembuhannya atau sebaliknya, terkadang juga akan memberikan mimik muka yang kurang menyenangkan padanya, ini akan menambah penderitaannya, menambah kemelekatannya pada tubuh jasmani. Namun jika pihak keluarga begitu kabur pada penderitaan pasien, hanya menyuruhnya melepaskan rasa sakitnya, melafal Amituofo dan bertekad lahir ke Alam Sukhavati, ini hanya akan menambah penderitaan pasien yang tak terkatakan, juga tidak ada yang dapat memahami dan merasakan penderitaan yang dialaminya, sehingga dia akan makin menolak untuk melafal Amituofo. Pihak keluarga jika tidak menunjukkan kepedulian dan perhatian serta ketulusan dan welas asih, maka pasien akan merasa “kalian tidak menghendaki saya lagi, saya sudah sakit kelamaan, kalian telah merasa jenuh, berharap agar saya cepat mati”. Perasaan ini akan menambah penyesalan dan kebenciannya. Kebencian ini lebih sulit dilepaskan daripada kemelekatan pada sanak keluarganya. Banyak pihak keluarga praktisi Ajaran Sukhavati yang pada awalnya bermaksud ingin membantu si pasien agar dapat terlahir ke Alam Sukhavati, namun karena terlalu memaksa si pasien agar menfokuskan diri melafal Amituofo dan melepaskan segala kemelekatan, akhirnya menimbulkan kesalahpahaman pada si pasien, yang menganggap diri si pasien adalah arahat yang sudah kebal akan kesakitan.


Dikarenakan pihak keluarga yang tidak mau mengerti akan “kesakitan dan penderitaan” yang sedang dialami pasien, tidak mau membandingkan si pasien sebagai dirinya sendiri, sehingga dapat membantunya untuk mengurangi penderitaannya, maka itu pasien merasa “keluarganya yang sudah belajar Buddha Dharma”, namun tidak mampu dengan bermaitri karuna peduli dan memberi perhatian pada dirinya; bila sudah demikian maka si pasien akan sulit dengan hati yang berterimakasih dan bersukacita melafal Amituofo, juga akan lebih sulit lagi memahami maitri karuna Buddha Amitabha.


Maka itu, untuk membantu pasien melafal Amituofo, tidak bisa hanya bersikap kaku dan dingin dalam memberi nasehat dan anjuran, dia malah takkan mau menerimanya dan menentang. Si pasien akan berpikir :”Yang menderita itu bukan kamu, barulah kamu bisa saja omong seenaknya, huh! Andaikata tiba giliranmu nanti, lihat saja apakah kamu bisa melepaskan lalu melafal Amituofo!”. Bahkan ada pasien yang sampai terpikir :”Kalian para praktisi Ajaran Buddha begitu dingin tidak memperhatikan penderitaanku, saya takkan mau belajar Ajaran Buddha dan juga tak sudi melafal Amituofo!” Begitu si pasien memiliki niat menentang, maka dia sangat sulit menerima bantuan dari mereka yang bermaksud menasehatinya; poin ini harap diperhatikan oleh pihak keluarga pasien.


“Ucapan” akan lebih berkhasiat daripada obat, poin ini harus diperhatikan dengan lebih seksama oleh kita semuanya. Sepatah kata baik akan menghangatkan musim dingin, sama halnya pula sepatah kata dingin akan membekukan musim panas. Sepatah kata dingin atau kasar mungkin akan membuat pendengarnya selama 10 tahun juga takkan bisa melupakan kebencian ini. Kita dapat mengamatinya dengan seksama, Buddha memiliki kemampuan tanpa batas, namun manusia lebih suka memuja Buddha dengan kalimat “maha maitri maha karuna” Buddha Amitabha, “maha maitri maha karuna” Bodhisattva Avalokitesvara, tidak ada yang memuja dengan menyebut “maha bijaksana” atau “maha kekuatan” Buddha Amitabha. Karena kita memerlukan maha maitri maha karuna Buddha, karena betapa sulitnya melalui sebuah kesulitan besar, sungguh kita mengharapkan uluran tanganNya untuk membawa kita keluar dari penderitaan menuju kebahagiaan, ini adalah harapan semua makhluk.


Bila Buddha hanya memiliki kebijaksanaan, namun tidak memiliki maitri karuna, maka Buddha takkan memiliki sedikitpun hubungan dengan para makhluk, ini merupakan hal yang harus kita pahami. Takkan ada Buddha yang mengabaikan penderitaan para makhluk. Ketika kita akan mencapai KeBuddhaan, haruslah terlebih dahulu dengan maha maitri maha karuna memberi manfaat kepada  para makhluk; karena semua makhluk dengan Buddha adalah satu. Kemudian dalam membantu para pasien, terutama saat membantu mereka melafal Amituofo, juga sedemikian. Maitri karuna merupakan kebijaksanaan yang paling mendalam, barulah bisa paham bagaimana seharusnya mencabut penderitaan dan memberikan kebahagiaan, sehingga setiap saat dapat membantu para makhluk, menwujudkan maitri karuna.


Ketika Nyonya Chen bertanya padaku : “Bagaimana cara membantu suamiku”, saya hanya menjelaskan apa yang telah kita bahas sebelumnya. Dia bertanya lagi apa yang harus dilakukannya? Dia amat merisaukan jika dirinya belum berbuat dengan baik, tidak dapat memberikan dukungan terbesar buat suaminya. (Yang dimaksud dengan dukungan adalah semasa hidup si pasien, kita berusaha dengan segenap tenaga memberikannya ketenangan dan kedamaian; saat ajalnya tiba, dapat membantunya mengikuti Buddha Amitabha terlahir ke Alam Sukhavati).


Kemudian saya memberinya anjuran : “Anda harus mempunyai tekad, memastikan anda adalah utusan Buddha Amitabha yang khusus datang untuk membantunya mencapai KeBuddhaan, anda pasti akan melakukannya dengan baik; anda dapat senantiasa berdoa dalam hati, memohon bimbingan dari Buddha, agar kamu dapat memahami bagaimana seharusnya agar dapat berbuat dengan sebaiknya. Ketika dia mengeluh kesakitan, maka yang paling baik anda lakukan adalah mendampinginya melafal Amituofo dan berdoa, anda harus bersujud dengan setulusnya  beranjali dan melafal keluar nama Buddha dari dalam sanubari anda yang paling tulus, agar pasien juga turut mendengarnya. Doa dapat berupa : “Murid istri Chen Jin-chi memohon pada Buddha Amitabha untuk membantu suamiku agar penderitaannya dapat reda, bebas dari segala kerisauan, jiwa raganya damai, dapat dengan hati yang tenang melafal Amituofo…….”


 Di dalam penderitaannya, asalkan dapat mendengar bahwa Buddha Amitabha akan datang menyelamatkannya, maka lama kelamaan bagaikan semerbak harum dupa yang juga mengenai insan yang menyalakannya, maka di dalam dirinya akan timbul keyakinan bahwa Buddha Amitabha akan datang menyelamatkannya, sebersit niat pikiran ini akan membawanya keluar dari penderitaan dan terjalin dengan Buddha. Niat pikiran pihak keluarga begitu pentingnya karena dapat mengantar  si pasien meninggalkan dunia saha yang begitu menderita ke dalam pelukan Buddha yang begitu bahagia tanpa batas”.


Yang membuatku salut adalah Nyonya Chen begitu setia mengamalkannya bahkan dia telah berhasil melakukannya.   
            

Dikutip dari : Ceramah Master Dao Zheng
Judul :  Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika

Sumber :  笑著進入七寶池

Menebar Senyum 02


Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Kisah Chen Jin-chi
Bagian 2

Upasaka Chen juga seperti kita pada umumnya adalah orang awam, hanya saja dia orangnya baik dan ramah, kehidupannya teratur,  memperlakukan orang lain dengan tulus, tak peduli terhadap orang lain maupun keluarganya tidak pernah murka dan berkata kasar. Hanya saja kemudian dia memiliki hobi makan seafood dan kepiting; ada orang yang melihat bentuk tumor di punggung belakangnya dan berkata : “Seperti kepiting, ada kakinya lagi”. Dia sama dengan orang awam lainnya, selalu merisaukan jika dirinya tidak cukup gizi, maka itu tidak sudi melepaskan makanan daging. Ketika sel kanker limfoma menekan saraf-saraf di pembuluh darah tangan kanannya, dia kesakitan sampai mati rasa, dia seperti anak-anak mengatakan kepadaku, tangannya sakit dan kaku, sulit untuk bergerak.

Saya berkata padanya : “Sekarang anda baru menyadari betapa menderitanya jika tangan kesakitan. Coba renungkan kembali, ketika kita makan kepiting, apakah kita pernah memikirkan penderitaannya, saat kakinya diikat, kemudian kita mencabut tangan dan kakinya, sesungguhnya dia amat menderita, apakah kita mengetahui dia sedang menangis? Kita harus belajar dari penderitaan ini, kemudian membangkitkan maha maitri maha karuna, semoga semua makhluk, janganlah karena nafsu makan saya sehingga harus menderita dan kesakitan. Semoga kita dapat serupa dengan Buddha, mencabut penderitaan semua makhluk”. Mendengar ucapanku, airmatanya berlinang kemudian dia menganggukkan kepalanya.     
 

Kemudian dia berkata lagi padaku : “Sewaktu dirawat di rumah sakit, suatu hari di tengah malam, hujan amat deras, dia mendengar ada suara yang ingin menangkapnya, sehingga dia amat menderita dan tidak dapat tidur, untunglah ikan yang pernah saya lepas datang menolongku”. Setelah dia meninggal dunia, kami menemukan buku hariannya di rumah sakit yang salah satu kalimatnya tertulis : “Semua makhluk memiliki saling keterkaitan, bila anda melindunginya, maka dia juga akan datang menolong dirimu, maka itu melepaskan satwa ke alam bebas itu amat penting, setelah keluar dari rumah sakit, saya akan melepaskan satwa lagi”.

Banyak insan yang telah melafal Amituofo untuk kurun waktu yang lama, namun tidak memiliki keyakinan untuk terlahir ke Alam Sukhavati, selalu merisaukan apakah dirinya sendiri akan berhasil terlahir atau tidak, selalu merasa ragu, tidak percaya bahwa diri sendiri memiliki Jiwa KeBuddhaan, tidak sudi memastikan bahwa Buddha Amitabha yang maha maitri maha karuna tentu takkan mengabaikan diriku. Banyak orang yang akan terpikir : “Saya memiliki banyak kelemahan, tidak serius melatih diri, melatih Amituofo juga jarang, tidak seperti guru sesepuh yang sehari melafal 80 ribu atau 100 ribu lafalan. Saya takut sakit, menjelang ajal apakah akan kesakitan? Apakah saya akan koma? Yang pasti banyak sekali hal yang dirisaukannya.


Pandangan kita selalu dijatuhkan ke dalam pandangan orang awam, yang berpihak pada rintangan karma, maka itu merasa tidak mungkin bisa berhasil terlahir ke Negeri Buddha; kita selalu menempatkan koin di depan pupil mata kita, sehingga cukup untuk menutupi cahaya mentari yang menyinari seluruh dunia. Andaikata kita sudi mengarahkan pandangan kita ke mentari yang terang, angkasa yang luas, sehingga walaupun seribu bahkan sepuluh ribu koin juga tidak dapat menutupi cahaya mentari, juga tidak dapat menghasilkan halangan apapun. Kita selalu menggunakan penutup untuk melihat mentari, demikian juga menggunakan rintangan karma untuk melihat Cahaya Buddha. Keyakinan, tekad dan pengamalan hanyalah sebuah niat pikiran dan perputaran saja. Namun jika kita tidak berhasil memutarnya, sanak keluarga dan teman-teman kita  juga dapat membantunya, sehingga kita dapat beralih dari kesakitan dan kemelekatan menjadi dituntun Cahaya Buddha.      
  

Upasaka Chen Jin-chi memiliki tubuh tinggi dan kuat, sedangkan istrinya, sejak dia jatuh sakit, harus menjaganya, terutama saat dia menjalani radioterapi dan kemoterapi, sungguh sibuk dan lelah, menjadi kurus dan kecil. Wanita yang kurus dan kecil ini telah memerankan sebuah peranan yang mulia; dia selalu menjaga suaminya dengan tegar dan tabah. Segala jenis  obat dan makanan bergizi dimasaknya sendiri, sehingga suaminya walaupun harus menjalani radioterapi dan kemoterapi serta kurang selera makan, namun berat badannya masih bisa bertambah 2 kg. Ketika mereka berdua muncul di klinik, suster akan mencari Nyonya Chen agar sudi disuntik, karena dia kurusnya sudah seperti orang sakit, sedangkan suaminya malah dirawatnya sampai tampak begitu kuat.

Sampai saat menjelang ajal, wajah Upasaka Chen tetap berwibawa, merah merekah tidak berubah. Nyonya Chen terus memberikan ketenangan kepada suaminya, sedangkan dia sendiri hanya dapat menyerahkan kerisauannya kepada Buddha Amitabha dengan berlinangan airmata, bagi orang awam betapa sulitnya menjalani tahapan hidup ini, dia hanya dapat bersujud di hadapan Buddha, memohon bantuan dari Buddha. Asalkan tulus pasti akan berhasil!

Dapat dikatakan bahwa setiap Bhiksu, sahabat sedharma, begitu mendengar ketulusannya, pasti akan datang saling bergandengan tangan dengannya, menemaninya melewati jalan yang berliku-liku ini. Dari sini kita dapat mempelajari satu hal, bahwa dalam ketulusan dan penghormatan, yang lemah sekalipun akan menjadi kuat, jika tiada yang datang mengulurkan tangan maka Buddha sendiri yang akan datang menolong!  

Ketika seseorang telah mengerti akan jalan kehidupan dan kematian, saat kekuatan seorang manusia awam terasa begitu lemah, rendahkanlah hati memohon perlindungan dari Buddha, saat ini rasa rendah hati dan kelembutan hati muncul, barulah dapat berlindung dengan sesungguhnya pada Buddha, mengandalkanNya, barulah dapat menyandarkan diri ke dalam pelukan Buddha, terjalin dengan Buddha tanpa ada halangan lagi. Ketika “keakuan” yang begitu sulit ditaklukan menjadi begitu lemah, mengalahlah, pintu Jalan KeBuddhaan telah terbuka lebar. Seseorang yang dengan rendah hati berdoa pada Buddha, sesungguhnya sedang membangkitkan kebajikan di dalam hatinya. Kekuatan dari ketulusan doa ini tak terhingga dan tak terbayangkan, sehingga para Buddha dan Bodhisattva serta siapa saja juga tidak sanggup menolaknya.  

Dikutip dari : Ceramah Master Dao Zheng
Judul :  Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika

  

Menebar Senyum 01


Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Kisah Chen Jin-chi
Bagian 1

Tokoh utama dalam kisah nyata ini adalah Chen Jin-chi. Jin artinya masuk, sedangkan chi artinya kolam. Menurut penuturan istrinya, pada mulanya nama yang bermakna demikian tidak memiliki masa depan yang bagus, makanya mereka bermaksud untuk mengganti nama. Tidak disangka pada detik yang amat penting, barulah tahu bahwa nama yang bermakna “masuk ke kolam” ini ternyata bertanda baik, masuk ke kolam tujuh mustika di Alam Sukhavati. Dapat memasuki kolam tujuh mustika Buddha Amitabha berarti dia dapat mencapai KeBuddhaan dan menyelamatkan para makhluk; ini adalah masa depan yang gemilang!

Mengapa kita memperkenalkan Bodhisattva ini? Dia adalah pasien penderita kanker limfoma yang secara perlahan menyebar menyerang seluruh tubuhnya. Namun drama yang pada awalnya dikira akan berakhir dengan menyedihkan ini, melalui pemberkatan kekuatan Buddha akhirnya menjadi drama yang berakhir denga penuh  sukacita.

Saat menjelang ajalnya, setiap insan yang hadir untuk membantunya melafal Amituofo, tiada satupun yang tidak merasa bersukacita untuknya, karena pada detik terakhir, dia mampu mengangkat tangannya yang sudah mati rasa, kemudian melambaikan tangan sambil tersenyum pada semua hadirin. Sejak mengetahui penyakit yang dideritanya, dia tidak pernah tersenyum, senyumannya ini, sampai sang istri yang sedang melafal Amituofo, dalam sekejab seluruh kerisauannya jadi lenyap, akhirnya juga turut menebarkan senyum sambil melafal Amituofo!

Demikianlah dia mengakhiri peranannya dan dengan tersenyum mengikuti Buddha Amitabha memasuki kolam tujuh mustika. Dia pernah memiliki tekad besar, yakni ingin membantu para pasien lainnya yang senasib dan seluruh pasien lainnya dengan tahap-tahap saat dirinya akan terlahir ke Alam Sukhavati, kebetulan dapat membuktikan kalimat-kalimat yang tercantum dalam sutra Buddha, sehingga dapat membangkitkan keyakinan pada mereka yang belum memiliki keyakinan sepenuhnya.

Istrinya yang baik, dan dua orang anak yang berbakti, saat dirinya jatuh sakit, terus memberi dukungan padanya, ketika tangannya pegal karena kanker, anaknya segera membantu memijatnya, menjaganya siang malam, tidak hanya menjaganya, namun juga terus memotivasinya untuk membangkitkan keyakinan pada Buddha, akhirnya menjadi barisan yang mengantarnya ke Alam Sukhavati untuk mencapai KeBuddhaan, sehingga pada kelahiran ini dia memperoleh manfaat yang terbesar dan keberhasilan yang tertinggi. Dapat dilihat Chen Jin-chi begitu berterimakasih pada keluarganya, bagaimana keluarganya menjadi keluarga teladan, mengantarnya dari tempat penuh penderitaan ini ke pantai seberang. Semangat mereka patut kita teladani, karena itu mengapa saya memperkenalkan kisah ini di sini:

20 tahun yang lalu saya telah mengenal Upasaka Chen, beliau adalah sahabat abang saya, pertama kali bertemu saya merasa dia amat jujur dan bepengertian. Pada saat itu saya bilang ke abang saya : “Diantara teman-temanmu, tampaknya Chen Jin-chi yang paling tulus”. Sejak itu saya tidak berkesempatan bertemu Chen Jin-chi lagi. Sampai akhirnya di punggung belakangnya muncul tumbuh tumor sebesar kepiting. Saat pertama berpapasan dengannya, kebetulan dia sedang diopname di rumah sakit, hatinya merasa amat menderita dan sangat tegang, dia memberitahuku : ”Di ranjang sebelah sini  terdengar nafas sepenggal-penggal, di ranjang sebelah sana tinggal tulang terbalut kulit, saya merasa amat takut”. Dia melanjutkan lagi : “Saya tidak ingin hidup demikian, saya tidak ingin hidupku berakhir dengan cara demikian”.

Saya berkata padanya : “Hanya dengan yakin pada Buddha dan melafal Amituofo, maka takkan ada ketakutan lagi! Cobalah berpikir dengan seksama, setelah divonis kanker maka harus bagaimana melewati hari-hari? Tiada lain, mulai sekarang mengerahkan segenap kemampuan melewati kehidupan dengan sukacita, sampai pada detik terakhir, dengan penuh sukacita mengikuti Buddha Amitabha terlahir ke Alam Sukhavati melewati kehidupan yang lebih bahagia, ini yang paling baik. Apakah anda ada cara yang lebih baik?” Setelah mendengar ucapanku, dia tertawa, sepertinya dia telah tercerahkan, dan kemudian dia berkata : “Betul, sakit juga boleh melewati hari-hari dengan sukacita, jangan berpikir sembarangan untuk menakuti diri sendiri, hari-hari masih cemerlang”.  Kami berbincang panjang lebar, walaupun jalan hidup penuh liku-liku, namun kita masih dapat menggunakan suasana hati yang baik untuk melewatinya.

Akhirnya dia berkata padaku : “Di Kaohsiung saya memiliki beberapa kenalan, saya ingin menyewa hall besar di sana, saya ingin menghubungi para dokter di rumah sakit agar memberitahukan para pasien yang senasib denganku, untuk mengundang mereka agar bersama-sama, saya ingin agar ucapan anda tadi juga dapat disampaikan kepada mereka semuanya, agar mereka dapat mengakhiri kegelapan, ketakutan dan kehilangan arah”. Dia amat serius sampai mengucapkannya tiga kali. Namun saat itu saya merasa masih belum memiliki kekuatan itu, maka hanya senyum-senyum berkata padanya : “Anda memiliki niat ini adalah hati maha karuna, Bodhicitta, dengan hati ini melafal Amituofo, maka akan terjalin dengan Hati Buddha. Kita harus mengamalkan apa yang diajarkan oleh Buddha, apalagi dapat membuktikan Ajaran Buddha, maka semua orang akan percaya. Mereka akan memiliki keyakinan pada Buddha, dengan sendirinya takkan takut lagi, maka ini barulah dapat membantu mereka”.

Kini pada detik terakhirnya, dia memperoleh penjemputan dari Buddha Amitabha, dari wajahnya terpancar senyuman dan lambaian tangan, dengan penuh sukacita menuju Alam Sukhavati dan kuliah di sana. Drama yang penuh sukacita ini, sungguh telah menenangkan hati banyak insan, menwujudkan tekad maitri karunanya untuk membantu para pasien lainnya. Keberhasilannya ini telah memotivasi mereka yang telah putus asa, kini saya akan menceritakan pengalamannya untuk kita simak bersama, juga untuk menwujudkan tekadnya, serta memberitahukan kita semua bahwa kita juga dapat serupa dengannya, menebar senyum memasuki kolam tujuh mustika.

Dikutip dari : Ceramah Master Dao Zheng
Judul :  Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika

Sabtu, 26 Oktober 2013

Beda jasa kebajikan, berkah kebajikan dan pahala



Master Chin Kung Menjawab :
Apa beda jasa kebajikan, berkah kebajikan dan pahala?

Umat bertanya :

Apa beda jasa kebajikan, berkah kebajikan dan pahala? Dengan kisah berikut sebagai perumpamaan, ketika Bodhidharma bertemu dengan Kaisar Liang Wudi yang telah banyak berbuat kebajikan, namun Bodhidharma malah mengatakan Kaisar Liang Wudi tidak memiliki jasa kebajikan. Mohon guru menjelaskannya.

Master Chin Kung menjawab :

Hal ini harus dijelaskan dengan benar. Ketika Bodhidharma tiba di Tiongkok, beliau bertemu dengan Kaisar Liang Wudi. Kaisar Liang Wudi berkata pada Bodhidharma, sejak menduduki tahta, dia mengerahkan segenap perhatiannya untuk mendukung penyebaran Ajaran Buddha, mendirikan lebih dari 440 bangunan vihara. Membantu insan yang ingin menjadi anggota Sangha, paduka amat menyenangi insan yang bersedia menjadi Bhiksu-Bhiksuni. Dia akan mendukung mereka, sehingga pada masa pemerintahannya, jumlah anggota Sangha mencapai lebih dari ratusan ribu orang. Dia membanggakan diri di hadapan Bodhidharma, menganggap bahwa jasa kebajikannya sungguh besar.

Bodhidharma menjawab dengan sejujurnya, bahwa kaisar tidak memiliki jasa kebajikan! Harus jelas akan makna jasa kebajikan, jasa kebajikan adalah sila, samadhi dan prajna. Kebajikan yang anda perbuat sama sekali tidak memperoleh samadhi, tidak membuka kebijaksanaan. Jika anda memperoleh samadhi, anda takkan bertanya dan takkan membanggakan diri telah melakukan berapa banyak kebajikan. Maka itu kaisar tidak memiliki jasa kebajikan, yang juga berarti tidak memiliki samadhi dan prajna. Bukan hanya samadhi dan prajna, bahkan sila pun tidak dimilikinya. Mengapa dikatakan tidak memiliki sila? Karena di dalam sila tidak boleh membanggakan diri. Maka itu sila, samadhi dan prajna tidak dimilikinya, bagaimana mungkin ada jasa kebajikan?

Mendengar ucapan Bodhidharma, Kaisar Liang Wudi merasa amat tidak senang, muncul kebenciannya, dan tidak mempedulikan Bodhidharma. Sehingga Bodhidharma terpaksa pergi ke Vihara Shaolin dan bersamadhi menghadap dinding selama sembilan tahun, tidak ada orang yang peduli padanya.

Andaikata Kaisar Liang Wudi bertanya padanya : “Kebajikan yang telah saya lakukan ini berkah kebajikannya besar tidak?” Jawabannya tentu sangat besar, jadi kebajikan yang dilakukannya adalah berkah kebajikan bukan jasa kebajikan. Berkah kebajikan tidak dapat mengakhiri tumimbal lahir, ke alam mana anda akan menikmati berkah kebajikan anda? Tidak pasti, hal ini harus anda pahami dengan jelas.

Berkah kebajikan yang besar belum tentu akan mengantar anda terlahir ke alam surga, walaupun berkah kebajikan anda besar juga dapat jatuh ke alam rendah. Sebab kelahiran di enam alam tumimbal lahir ada dua jenis karma yakni yang pertama adalah Āksepaka Karman, karma yang menuntun anda terlahir di alam mana. Karma apa yang menuntun anda terlahir ke alam manusia? Ini karena pada kehidupan yang lampau anda melatih Lima Sila dan Sepuluh Kebajikan; Lima Sila dan Sepuluh Kebajikan adalah benih karma yang ditanam pada masa kehidupan lampau, menuntun anda terlahir ke alam manusia.

Sedangkan kebajikan yang dipupuk Kaisar Liang Wudi termasuk Paripuraka karman, yakni karma yang membawa anda menikmati pahala di dunia ini, menikmati kesenangan adalah pahala, yang dia latih adalah Paripuraka karman.    

Lihatlah sama-sama terlahir di alam manusia, tetapi mengapa ada yang kaya dan miskin, usia panjang dan pendek, lingkungan hidup yang berbeda? Yang membedakan semua ini adalah Paripuraka karman. Jika terlahir di alam yang sama maka disebut memiliki Āksepaka Karman (karma penuntun) yang sama, sedangkan yang dilatih masing-masing adalah Paripuraka karman. Andaikata dia tidak dapat mengamalkan Lima Sila dan Sepuluh Kebajikan, maka kelak ke mana dia akan menikmati pahalanya? Dapat kita bayangkan, dia bakal terlahir ke alam setan kelaparan untuk menikmati pahalanya, atau terlahir ke alam binatang untuk menikmati pahalanya.

Di alam setan kelaparan ada yang menjadi raja setan, dewa bumi, dewa gunung, ini merupakan contoh setan yang memiliki pahala. Mereka memiliki kuil, banyak yang memberi persembahan sesajian, inilah cara mereka menikmati pahalanya. Sedangkan yang terlahir ke alam binatang, contohnya seperti raja naga sahabat Bhiksu An Shi-gao, dia adalah ular, alam binatang. Raja naga ini pada mulanya adalah sahabat Bhiksu An Shi-gao  yang sama-sama melatih diri. Menurut Bhiksu An Shi-gao, pelatihan diri sahabatnya ini sangat lumayan, mengerti makna sutra dan suka berdana. Karena dia mengerti makna sutra makanya dia memiliki kebijaksanaan. Raja naga ini sungguh sakti, segala permintaan dapat dikabulkannya, ini dikarenakan pada masa kelahiran lampaunya Bhiksu ini mampu berceramah. Dia juga suka berdana, berdana akan memperoleh pahala yang besar, makanya dia memiliki pahala dan kebijaksanaan.

Lalu mengapa dia bisa terlahir ke alam binatang?  Ini dikarenakan tidak melatih Lima Sila dan Sepuluh Kebajikan dengan baik. Sebab terlahirnya ke alam binatang, menurut penuturan Bhiksu An Shi-gao, yang  juga memperingatkan kita agar selalu mawas diri, karena kebenciannya yang tidak dilenyapkan. Apa yang membuatnya benci? Yakni setiap hari dia berpindapatra, jika umat mempersembahkan nasi dan sayur yang enak, maka dia akan bersukacita, sebaliknya jika umat mempersembahkan nasi dan sayur yang tidak enak, maka dia akan merasa kesal dan marah, walaupun tidak dikeluarkannya dalam tindakan, namun ada di dalam hatinya; setiap hari saya mempersembahkan Dharma Dana kepada kalian, apakah ini cara kalian membalasku?

Hanya karena niat ini saja maka jatuh ke alam binatang. Cobalah kita melihat kembali pada diri kita sendiri, ketrampilan melatih diri kita sedikitpun tidak sebanding dengan raja naga ini. Namun emosi kita lebih besar dibandingkan dengan dirinya, beliau saja masih dapat menutupi amarahnya, walaupun tidak diwujudkan keluar, namun dihatinya tidak seimbang, dia masih mampu menyimpannya. Sedangkan kita setiap hari membelalakkan mata memarahi orang lain, dia jatuh ke alam binatang menjadi raja naga, sedangkan kita mungkin sudah jatuh ke neraka menjalani hukuman penderitaan, ini adalah contoh yang amat nyata, kita tidak boleh tidak mengetahuinya. Maka itu jasa kebajikan dan berkah kebajikan itu tidak sama.            





问:功德、福德、福报,三者有何不同?因为与人谈及功德时,以达摩初化梁武帝为例,告诉对方此公案中,达摩说无功德。但对方纠正我应为福报,是否为福报,请老法师慈悲开示。

净空法师答:这个事情要讲清楚、要讲明白。达摩到中国来,见到梁武帝,梁武帝跟达摩祖师说,他做了皇帝之后,全心全力护持佛法,建了四百八十多个寺庙、寺院,在他在位的时候,建了四百八十多个寺庙。度人出家,他是非常欢喜人出家,哪个出家他都高兴,他都护持,所以在他那个时代,出家人有十几万人。他向达摩祖师炫耀,他这个功德很大,他认为这是功德。达摩祖师说老实话,跟他讲,你做的这些事情,并无功德!什么是功德你要清楚,功德是戒定慧。你做这些事情你自己没有得定,没有开智慧,你要得定,你就不会问这个问题,不会炫耀,炫耀自己我做这么多好事,不会。所以他没有功德,也就是他没有定慧。不但没有定慧,连戒也没有。何以说戒没有?戒里有自赞毁他,他虽然没有毁他,但他自己赞叹自己,这个在《瑜伽菩萨戒本》里头是重戒。他还自己夸耀自己,所以戒定慧没有,他哪来的功德?

梁武帝听达摩祖师这一说,就很不高兴,瞋恚心起来了,不高兴,不理他,就叫他走了。所以达摩就跑到少林寺去面壁九年,没人理他。如果梁武帝要问他:我做的这些事福德大不大?那很大,那真的是甚大、甚大,他做的是福德边的事,不是功德边的事。福德不能了生死,不能脱轮回,你的福报到什么地方去享受?不一定,这个你一定要知道。不是福报很大就生天,没有那回事情,福报很大照样可以堕落。这个修的福,我们佛门里面讲,六道轮回里头的业因,两种业,一种叫引业,引导你去投生。你到人道来,人是秉什么样的引业?你过去生中修五戒十善;过去生中五戒十善这个业因,引导你到这个世间来投胎。像梁武帝修的这些事情属于满业,满业就是你到这个世间来享福,享受福报,他修的是满业。

你看看,同样都是得人身,为什么有贫富贵贱不一样,寿命长短不一样,物质精神生活环境不一样?那个不一样,是满业。你到哪一道来大家都一样,这个引业是相同的,所以他修的这是满业。如果他五戒十善都做不到的话,他将来到哪里去享福?我们能够想象得到,他到饿鬼道享福,到畜生道享福。饿鬼道里面做鬼王,做城隍、做土地、山神,这都是有福报的。他有庙,有多少人去祭祀、供养他,到那里去享福。到畜生道里面,像安世高的朋友[+]亭湖的龙王,他是蛇,畜生道。你要晓得,那个龙王是安世高的同学,前世是出家人,安世高给我们说,这个出家人不错,明经好施。你想想看,他讲经说法,他通教理,他明经,所以他有智慧。这个龙王很灵验,有求必应,他灵验,灵验是他从前讲经,他有智慧。他喜欢布施,布施就福报大,所以他有福、有慧。

为什么堕到畜生道?换句话说,五戒十善都没有修好。堕畜生道的业因,安世高说得很清楚,也提醒我们,瞋恚心没断。瞋恚心是什么?那个时候出家人都是托钵,每天到外面去托钵。托钵,人家供养的饭菜好,他就很欢喜,饭菜不好,他心里面就有愤怒。虽然不发作,他心里不高兴:我天天以法布施来供养大众,你们给我的回报是这个样子?就是这么个念头,堕到畜生道。我们今天想想自己,我们的功夫比这个龙王不如,没有他修得好。但是我们今天的脾气比他大,他还很含蓄,虽不在表面上发作,心里不平,他还很含蓄。我们天天瞪着眼睛骂人,他堕畜生道当龙王,我们到地狱道去受罪,很明显的例子,这是我们不能不知道的。所以功德、福德不相同。如果梁武帝要问他:福报大不大?那达摩祖师一定说甚大、甚大,他修的是大福报。





Senin, 21 Oktober 2013

Bagaimana cara sebuah ajaran diwariskan?


Bagaimana cara sebuah ajaran diwariskan?

Di dalam perkembangan Ajaran Buddha di Tiongkok, pada jaman dahulu banyak sekali silsilah pewaris ajaran, contohnya Aliran Zen (Aliran Dhyana) diwariskan dari Bodhidharma kepada Master Hui Ke, kemudian Hui Ke menurunkan ajaran kepada pewaris selanjutnya sampai pada generasi yang kelima yakni Master Hong Ren, ini adalah silsilah Aliran Zen, sampai pada masa Master Hui Neng, kemudian dari Master Hui Neng diturunkan kepada 43 murid-muridnya.

Selama masih ada satu insan saja yang dapat menerima ajaran tersebut, kemudian melatih metode itu dengan kesungguhan hati, maka silsilah aliran tersebut takkan terputus. Apalagi hari ini kita dapat mempergunakan kemajuan tehnologi, jika aliran kita tidak ada pewarisnya, kita dapat menggunakan kaset rekaman dan kemudian menyebarkannya, kelak pasti akan ada pewarisnya.

Mungkin saja pewaris ini bukan dari jaman kita, mungkin saja satu jaman namun di wilayah berbeda, mungkin saja kami tidak pernah bertemu muka, setelah dia mendengar ceramah saya, dia jadi tercerahkan, kemudian dia mengamalkannya.

Saat ini pewarisan ajaran lebih praktis daripada jaman dahulu, jaman dahulu harus langsung bertatap muka, jika tidak bertemu maka tidak bisa diturunkan. Sedangkan jaman sekarang, tidak perlu harus bertemu langsung maka ajaran sudah dapat diwariskan.

Tidak perlu bertatap muka dan ajaran dapat diwariskan, si pewaris ini tentu bukanlah orang biasa, mereka dapat dikatakan memiliki akar kebijaksanaan yang tajam dan berkah kebajikan yang tebal.

Contohnya Mencius, Mencius adalah pewaris ajaran Konfucu, Mencius dan Konfucu tidak pernah bertatap muka, saat itu Konfucu sudah meninggal dunia, Mencius membaca buku-buku karya Konfucu, kemudian dia mempelajari ajaran Konfucu, dan berhasil menirunya. Dikemudian hari masyarakat memberi gelar pada Mencius setingkat di bawah Konfucu.
  
Belajar dari guru yang telah wafat, Mencius adalah orang pertama yang berhasil menerapkannya, belajar dari para pendahulu. Di dalam Agama Buddha, yang paling berhasil adalah  Master Ou Yi, Master Ou Yi belajar dari Master Lian Chi, pada saat itu Master Lian Chi telah wafat. Karya tulis Master Lian Chi masih ada, saat ini kita dapat membaca “Karya lengkap Master Lian Chi” yang terdiri dari empat jilid.

Master Ou Yi menfokuskan diri belajar dari Master Lian Chi, dengan Master Lian Chi sebagai gurunya, akhirnya dia berhasil meniru Master Lian Chi.  

Saat ini apabila di wilayah sekitar kita tidak dapat ditemui seorang kalyanamitra, maka kita belajar dari para pendahulu. Maka itu saya selalu menasehati praktisi sekalian untuk belajar dari “Sutra Usia Tanpa Batas”, lebih baik anda langsung menjadi siswa Buddha Amitabha. Setiap kalimat yang tercantum dalam Sutra Usia Tanpa Batas, anda harus memahaminya, jika telah mengerti, terapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka anda telah menjadi siswa Buddha Amitabha. Walaupun Buddha Amitabha tidak tampak, namun kita telah menjadi siswa Buddha Amitabha, Buddha Amitabha akan mengakuinya.

Petikan Ceramah Master Chin Kung
Judul : Sutra Ksitigarbha edisi 11
Tanggal : 1 Desember 1998
Tempat :  Yayasan Buddha Amitabha Singapura
   
 
  

 

淨空法師談 - 法脈如何世代相傳?


在中國佛家裡頭,古時候有很多是單傳的,禪宗達摩傳一個­慧可,慧可往下傳到第五代弘忍禪師,都是單傳,到惠能大師才傳了四十三人。有一個人能­夠接受,能夠認真的學習,這個法脈就不斷。何況今天我們能夠利用科技,縱然眼前一個傳­人都找不到,我們能把錄像帶、錄音帶留下去,後來必定會遇到傳人。這個傳人可能跟我們­不同時代,或者同時代不同地區,我們沒有見過面,他聽到了,他覺悟了,他能做。現在傳­承的方式比過去方便多了,從前是要當面傳,不對面就沒有辦法。不對面能夠傳授,實在講­都不是普通人,佛家講是上根利智,善根福德非常深厚的人。像孟子,孟子做孔子的傳人,­孟子跟孔子沒見過面,孔子已經過世,孟子讀孔子的書,學孔子,他學得很像,學成功了。­在中國歷史上,後人尊稱孔子為「至聖先師」,尊稱孟子為「亞聖」,僅次於孔子。所以在­中國作私淑弟子,就是想跟古人學,這人不在世跟他學,孟子是第一個人,開端,這是跟過­去的人學習。在我們佛門,私淑弟子當中成就最著名的是蕅益大師,蕅益大師學蓮池大師,­那時蓮池大師往生了。蓮池大師的著作在,現在我們看到《蓮池大師全集》有精裝本四冊。­蕅益大師專門學蓮池大師,以蓮池大師為老師,從他著作裡面認真學習,做蓮池大師的學生­,他學得很像,學成功了。這是講這個時代、這個地區,找不到真正善知識,就找古人。所­以我常勸導大家,我們如果依《無量壽經》來學習,你就直接是阿彌陀佛的學生,做阿彌陀­佛的私淑弟子。《無量壽經》上所講的字字句句,你要能理解,真正明瞭了,落實在生活當­中真正做到,你就是阿彌陀佛的弟子。阿彌陀佛就算不在,我們也是阿彌陀佛的私淑弟子,­阿彌陀佛會承認。

 

地藏經玄義-11淨空法師啟講於新加坡淨宗學1998-12-01